Monday, 12 October 2020

Beratnya Dicap “Anak Emas” Yayasan

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema pengalaman yang kurang menyenangkan selama mengajar.

 

Setelah cuti selama satu tahun untuk mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG), saya kembali mengajar di sekolah. Proses kembali mengajar setelah cuti selama setahun ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Mulai dari mempelajari kebijakan-kebijakan sekolah yang telah berubah, hingga berkenalan dengan orang tua murid baru. Saya harus beradaptasi supaya dapat menjalankan tugas mengajar dengan baik dan selaras.

Kesulitan pertama yang saya temui adalah tentang penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Cara menyusun RPP yang saya pelajari di program PPG ternyata berbeda dengan yang dilakukan di sekolah. Ada beberapa bagian di RPP sekolah yang belum sesuai dengan aturan, misalnya aturan audience, behaviour, condition, dan degree. Saya juga melihat penyusunan rubrik penilaian pun belum sesuai dengan Kompetensi Dasar.

Ketika berusaha mengubah pandangan rekan kerja agar memperbaiki RPP, ternyata prosesnya tidak mudah karena tidak semua guru memiliki pikiran yang terbuka. Karena saya tidak ingin dicap sombong (sebagai lulusan PPG), akhirnya saya memutuskan untuk diam and mengubah RPP yang saya buat saja, tanpa mempedulikan RPP rekan kerja yang belum tepat.

Kesulitan kedua yang juga cukup membuat saya tertekan adalah pandangan beberapa rekan kerja bahwa saya adalah “anak emas” yayasan karena diizinkan cuti selama satu tahun. Saya menyadari tidak semua orang akan mendukung keputusan kita ketika ingin berkembang menjadi lebih baik. Tetapi, hampir setiap hari saya mendengar pernyataan-pernyataan yang kurang enak. Pada akhirnya, semua itu membuat saya menjadi lebih pendiam dan jarang mengutarakan pendapat dalam rapat besar.

Awalnya, saya pikir tindakan itu adalah cara paling aman agar saya dapat bekerja tanpa beban. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saya makin tertekan karena tidak ada orang yang dapat saya ajak bicara, dan saya tidak bisa melupakan ucapan-ucapan negatif tentang saya dari orang lain. Semakin hari saya semakin merasa berat untuk bekerja. Akhirnya saya memutuskan untuk bercerita kepada seseorang yang saya percayai.

Saya bersyukur karena bercerita kepada orang yang tepat. Beliau memotivasi saya bahwa berkembangnya seseorang adalah pilihan. Ada tanaman yang dihimpit kemudian layu. Ada biji kecil yang dikubur dalam-dalam di tanah, tetapi kemudian keluar sebagai tanaman baru. Hidup adalah pilihan. Sikap kita adalah pilihan. Respons kita terhadap ucapan-ucapan negatif juga adalah pilihan. Kita merdeka untuk memilih dengan segala konsekuensi dan hasilnya.

Pembicaraan itu membuat saya bangkit dan termotivasi untuk menjadi biji yang ditanam di dalam tanah, tetapi akan terus tumbuh. Hidup saya bukan untuk menyenangkan orang lain atau menghindari orang yang tidak suka dengan saya. Hidup saya adalah tentang pengabdian, yaitu tanggung jawab saya sebagai guru dan pendidik generasi masa depan bangsa.

 

* Catatan ini ditulis oleh RCA, guru SD di Provinsi Jawa Tengah.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini