Monday, 15 October 2018

Cerita Guru dari Lombok: “Tidak ada anak yang bodoh”

Ibu Marda bersama siswa-siswi kelas 2C. | Foto-foto: Tony Liong

.

Menjadi guru adalah kesempatan sekaligus tantangan untuk dapat berkontribusi mendukung perkembangan siswa. Itulah yang dirasakan Ibu Marda (32), seorang guru di salah satu SD di Pulau Lombok. Kepada RISE, Ibu Marda berbagi pengalaman menjadi guru dan pendapatnya tentang hal-hal yang penting dimiliki oleh setiap guru.

.

Waktu menunjukkan pukul 10 pagi di sebuah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Bel berbunyi dan siswa-siswi kelas 2 yang tengah bermain di koridor dan lapangan sekolah pun bergegas masuk ke kelas. Dengan tertib, mereka duduk di kursi masing-masing dan membuka buku pelajaran.

Siswa-siswi kelas 2C berjalan memasuki kelas setelah bel berbunyi.

Sehari-hari, siswa kelas 2 di SD tersebut menggunakan ruang kelas secara bergantian dengan siswa kelas 1. Mulai pukul 7.30 hingga 10 pagi, ruang kelas dipakai oleh siswa kelas 1, kemudian dilanjutkan oleh siswa kelas 2. Kelas 2 sendiri dibagi menjadi tiga rombongan belajar, salah satunya kelas 2C yang ruangannya terletak di sisi kiri gedung. Pada pagi itu, sedikitnya 28 siswa kelas 2C tampak siap mengikuti kegiatan belajar.

Tak lama, suara langkah kaki yang familiar mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu kelas. “Selamat pagi, Ibu Guru!” ujar para siswa bersamaan. “Selamat pagi, anak-anak,” ujar perempuan berkerudung yang baru memasuki kelas.

Ibu Marda, guru tersebut, berjalan menuju mejanya yang terdapat di depan kelas. Ia lalu memerhatikan setiap siswa yang duduk rapi dalam kelompok-kelompok kecil. Wajah-wajah yang memancarkan semangat itu turut menumbuhkan semangat dalam dirinya. Wajah-wajah itu jugalah yang telah menjadi bagian dari kesehariannya selama hampir setahun terakhir. Selain mengingat wajah setiap anak didiknya, Ibu Marda juga hafal nama dan sifat mereka masing-masing.

Ibu Marda mengimbau para siswa yang ingin menabung untuk mengumpulkan uang ke depan kelas.

Bagi Ibu Marda, sebagai seorang guru, mengetahui karakter anak merupakan hal yang paling penting. “Karakter siswa di kelas tidak ada yang sama. Tingkat pemahaman mereka pun berbeda-beda,” jelasnya. “Misalnya, ada anak yang bisa matematika, tetapi kurang menguasai pelajaran lain. Atau, ada juga anak yang kurang menguasai banyak pelajaran, tetapi bagus di SBK (Seni, Budaya, dan Keterampilan). Padahal, anak tersebut bukannya tidak bisa, tetapi hanya butuh waktu agak lama atau mungkin butuh metode pengajaran lain. Kita tidak boleh menganggap dia bodoh atau sejenisnya karena setiap anak pasti mempunyai kelebihan.”

Bukan hanya itu, Ibu Marda juga memahami bahwa setiap anak membutuhkan perhatian. “Ada yang mencari perhatian dengan bersikap sulit diatur, atau malah sebaliknya, menjadi pendiam dan penurut. Kita tidak bisa menyamakan anak yang satu dengan yang lain; yang penting adalah metode pendekatan ke anak. Kita perlu dekat dulu dengan anak. Kita ketahui dulu karakter anak itu seperti apa. Setelahnya, barulah kita bisa memutuskan bagaimana menghadapi anak tersebut,” lanjut Ibu Marda.

Meningkatkan Semangat Belajar Siswa

Salah satu kendala yang sering Ibu Marda temui saat mengajar adalah mood siswa. Ada kalanya suatu hal di luar sekolah bisa mempengaruhi mood siswa saat belajar di kelas. Meski anak-anak biasanya mudah kembali ceria, ada kalanya Ibu Marda perlu melakukan pendekatan lebih agar anak dapat menceritakan masalah mereka sebelum diajak membicarakan hal-hal lain.

Selain itu, sesekali, untuk membuat pembelajaran lebih menyenangkan, Ibu Marda mengajak para siswa belajar di luar kelas. Hari itu, misalnya, Ibu Marda mengajak mereka berkumpul di area halaman sekolah untuk belajar matematika dengan cara yang berbeda dari biasanya. Ibu Marda meminta para siswa membuat barisan berdasarkan kelompok angka tertentu. Para siswa pun tampak antusias mengikuti instruksi-instruksi yang disampaikan.

Ibu Marda sedang mengajar matematika dengan cara baris-berbaris di halaman sekolah. Ini merupakan salah satu metode belajar kreatif yang beberapa kali diterapkan Ibu Marda untuk mengubah suasana belajar agar siswa lebih bersemangat.

Ibu Marda juga menekankan pentingnya bagi siswa untuk saling mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, ia menerapkan sistem rolling (pergantian) tempat duduk bagi siswa setidaknya setiap satu atau dua bulan sekali. Dari sistem inilah, muncul cerita-cerita yang membantunya mengenali para siswa lebih dalam.

“Kadang ada anak yang protes, bilang enggak mau duduk sama si ini atau si itu karena sering diganggu. Saya lalu tanya ke anak itu, kenapa dia sering mengganggu temannya. Dari proses itu lama-lama jadi terbuka, oh, ternyata dia begini atau begitu. Setelah itu kita coba ubah supaya dia enggak begitu lagi. Tetapi, kadang anak-anak juga bisa sadar dan berubah sendiri,” ujar Ibu Marda.

Selain berganti teman sebangku, para siswa juga merasakan perubahan susunan tempat duduk. Dari yang berderet bisa berubah menjadi berkelompok, atau ditata menjadi bentuk “U”. Pergantian susunan tempat duduk ini dilakukan setiap sebulan sekali untuk menyegarkan suasana belajar. “Berkat sistem rolling, setiap siswa jadi pernah merasakan duduk dengan semua teman sekelasnya secara bergantian,” tambah Ibu Marda.

Cita-cita yang Tercapai

Bagi Ibu Marda, menjadi guru adalah cita-cita sejak kecil yang tercapai. Selain mengagumi sosok guru yang pintar, Ibu Marda juga melihat keseharian guru mengajar di depan kelas dan diperhatikan oleh siswa-siswinya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Cita-cita menjadi guru ini tercapai pada Juli 2014 ketika Ibu Marda resmi menjadi guru honorer. Hingga akhirnya, mulai Juni 2015, ia bertugas di sekolah tempatnya mengajar sekarang dan telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Tahun-tahun Ibu Marda menjadi guru dipenuhi dengan banyak pengalaman berkesan, namun, yang paling berkesan datang dari cerita salah satu orang tua murid. Saat itu, Ibu Marda memiliki seorang siswa yang ceria dan gemar membaca. Kegemaran itu membuat siswa tersebut memiliki wawasan yang bahkan Ibu Marda sendiri tidak ketahui sebelumnya. Namun, pada suatu hari, ketika siswa itu sedang mengunjungi neneknya yang tinggal di Pulau Jawa, ia berkata tidak mau kembali ke Lombok. Orang tuanya sudah berusaha membujuk selama hampir seminggu, namun sang anak berkukuh tidak mau kembali.  

“Lalu, ibunya bercerita ke saya, ketika dibujuk ‘Ayo, apa tidak kangen dengan Ibu Guru Marda? Kamu sudah ditunggu di sekolah’, anaknya langsung mau pulang ke Lombok dan bersekolah lagi. Mendengar itu, saya langsung menangis. Mungkin ini yang paling berkesan untuk saya karena bisa diingat oleh siswa sampai seperti itu,” tutur Ibu Marda.

Hal itu semakin menyadarkan Ibu Marda bahwa pengaruh seorang guru sangat besar terhadap siswanya, bahkan terkait hal-hal di luar pembelajaran.

Meski kelas baru dimulai pukul 10 pagi, ketiga siswa ini sudah tiba di sekolah lebih dari satu jam sebelumnya.

Di samping itu, Ibu Marda merasa hubungan antarguru dan staf sekolah di tempatnya mengajar saat ini sangat terbuka dan saling mendukung. Kondisi tersebut membuatnya semakin ingin terus berkembang sebagai guru. “Saya betah dan merasa masih dibutuhkan di sini,” ujarnya.

Bagi Ibu Marda, kebahagiaan terbesarnya saat mengajar adalah bertemu dengan siswa-siswi dengan beragam karakter dan latar belakang. Ia berharap dapat terus mendidik mereka agar siap menghadapi tahap kehidupan selanjutnya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ibu Marda juga berharap seluruh siswa kelak dapat menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sekitarnya.  

“Apa pun pekerjaannya, apa pun hasil akhirnya nanti, mereka harus bisa menjadi orang yang bermanfaat. Kalau tidak bisa yang besar-besar, kalau tidak bisa jadi presiden, setidaknya bisa bermanfaat bagi orang-orang terdekatnya,” tutup Ibu Marda.

Kalimat penyemangat untuk mendorong siswa agar berani mengembangkan kemampuan mereka. Kalimat ini terpampang di dinding luar kelas 2C.


Bagikan Postingan Ini