Sunday, 23 February 2020

Kompleksitas Guru Berstatus Honorer

Foto ilustrasi: Mukti Mulyana

 

Di era sentralisasi, perekrutan guru-guru sekolah negeri dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Namun, jumlah guru yang direkrut pada waktu itu tidak mampu memenuhi kebutuhan guru di banyak daerah di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Pusat kemudian mengizinkan pemerintah daerah untuk merekrut guru-guru yang akan ditugaskan di wilayah mereka tanpa melewati jalur umum (seleksi calon pegawai negeri sipil/CPNS). Guru-guru yang perekrutannya tidak melalui proses seleksi CPNS disebut guru honorer.

Di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Melalui PP tersebut, semua tenaga honorer, termasuk guru, dapat diangkat menjadi CPNS tanpa melalui jalur seleksi CPNS. Pengangkatan guru honorer menjadi CPNS dilakukan secara bertahap dengan memprioritaskan mereka yang berusia paling tinggi dan/atau mempunyai masa kerja lebih banyak. Jangka waktu pengangkatan tersebut dimulai pada Tahun Anggaran 2005 dan selesai paling lambat pada Tahun Anggaran 2009.

Pada 2007 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 43 tentang Perubahan Atas PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP No. 43/2007 ini disebutkan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS diprioritaskan antara lain bagi mereka yang bekerja sebagai guru.

Setelah Tahun Anggaran 2009 selesai, masih terdapat guru honorer yang “tercecer” atau belum diangkat menjadi CPNS. Pemerintah kemudian menerbitkan PP No. 56/2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Tahun 2012 yang menjadi payung hukum pengangkatan Tenaga Honorer Kategori 1 (K1) dan Kategori 2 (K2) menjadi CPNS. Penerbitan PP No. 56 itu diharapkan dapat mengakhiri perekrutan guru berstatus honorer sehingga pengelolaan guru dapat lebih tertata dan berdasarkan pada kompetensi.

Dikutip dari PP No. 56/2012, definisi tenaga honorer K1 dan K2 adalah sebagai berikut:

  • K1

Tenaga    honorer    yang    penghasilannya    dibiayai    dari    Anggaran Pendapatan  dan  Belanja  Negara  atau  Anggaran  Pendapatan  dan Belanja   Daerah      dengan   kriteria      diangkat   oleh   pejabat   yang berwenang  bekerja  di instansi pemerintah,masa  kerja  paling  sedikit 1  (satu)  tahun  pada tanggal 31  Desember  2005  dan  sampai  saat  ini masih   bekerja   secara   terus   menerus;   berusia   paling   rendah 19 (sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal1 Januari 2006.

  • K2

Tenaga  honorer  yang  penghasilannya  dibiayai  bukan  dari  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau  dari Anggaran Pendapatan dan Belanja   Daerah   dengan   kriteria,diangkat   oleh   pejabat   yang  berwenang,bekerja  di instansi pemerintah,masa  kerja  paling  sedikit 1  (satu)  tahun  pada tanggal 31  Desember  2005  dan  sampai  saat  ini masih   bekerja   secara   terus   menerus, berusia   paling   rendah 19 (sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam)  tahun pada tanggal 1 Januari 2006.

 

Penerbitan PP No. 48/2005 sekaligus melarang perekrutan tenaga honorer oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi. Meskipun demikian, karena jumlah guru di daerah-daerah terpencil masih kurang, praktik merekrut guru honorer masih dilakukan oleh sekolah dan sejumlah pemerintah daerah. Padahal, Pemerintah sudah tidak lagi melakukan pengangkatan guru honorer menjadi PNS tanpa seleksi. Pengangkatan guru honorer menjadi PNS saat ini harus melalui seleksi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) No.5/2014. Pemerintah telah menyiapkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk menyelesaikan persoalan guru yang berstatus honorer. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah guru honorer saat ini sekitar sepertiga dari total 2,9 juta guru di Indonesia (2019).

 

Simak cerita para guru berstatus honorer di Kota Bukittinggi dan Kabupaten Kebumen yang kami temui di Perjalanan Guru Menuju Status PNS.


Bagikan Postingan Ini