Tuesday, 7 April 2020

Melamar Pekerjaan Guru Kelas, Malah Ditawari Jadi Guru Tari

Foto ilustrasi: Tony Liong

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema hal penting yang terjadi dalam perjalanan sebagai guru muda.

 

Saya sudah menjadi guru muda selama lima tahun. Dari berbagai pengalaman yang telah saya lalui, ada satu pengalaman yang menurut saya penting untuk diceritakan.

Saya memulai perjalanan menjadi guru muda pada usia 21 tahun, usai menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) jurusan pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) dengan predikat cum laude. Berbekal ijazah S-1, saya lalu melamar ke satu sekolah dasar (SD) negeri di daerah Jakarta Timur dengan penuh percaya diri. Saya memilih sekolah tersebut karena lokasinya dekat dengan rumah saya.

Saat mendatangi sekolah itu, saya mengenakan pakaian yang sangat rapi layaknya seorang guru. Seorang guru bernama Bu Susi menyambut saya dengan sangat ramah dan menanyakan tujuan kedatangan saya. Saya menjawab ingin melamar pekerjaan sebagai guru kelas. Bu Susi kemudian mengantar saya menemui kepala sekolah yang juga menyambut saya dengan sangat baik. Saya lalu menceritakan tujuan kedatangan saya, yaitu ingin menjadi guru sesuai dengan pendidikan saya yang tertera di ijazah S-1. Kepala sekolah menanyakan beberapa hal tentang saya, termasuk soal hobi menari. Dalam hati saya bertanya-tanya kenapa ia lebih tertarik dengan hobi daripada ijazah saya.

Kepala sekolah kemudian mengatakan bila posisi guru di sekolah tersebut sudah terisi penuh, dan ia menawarkan posisi guru tari kepada saya. Saya terdiam selama beberapa detik. Hati saya berkecamuk. Kenapa jadi begini?

Namun, mengingat sulitnya mencari sekolah negeri yang menerima lamaran pekerjaan guru, akhirnya saya menerima tawaran tersebut. Saya mencoba mensyukuri kesempatan yang diberikan kepada saya, walaupun menjadi guru tari di SD negeri adalah suatu ironi. Tiap bulan saya dibayar 500 ribu rupiah, itu pun tanggal pembayarannya tidak jelas.

Setelah dua bulan menjalani pekerjaan itu, saya lalu mengundurkan diri. Saya merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang tercantum di ijazah. Selain itu, saya juga merasa tidak nyaman di sekolah tempat saya bekerja; senioritasnya sangat tinggi, apalagi terhadap guru honorer seperti saya.

Saya tetap berusaha bersyukur walaupun pengalaman tersebut kurang menyenangkan. Hikmah yang saya rasakan setelah menjalani pekerjaan tersebut adalah kini saya menjadi lebih tangguh dan kuat. Keduanya dapat menjadi bekal dalam menjalani profesi guru. Setelah melalui kepahitan, saya yakin akan mendapatkan kejutan yang manis di kemudian hari.

 

* Catatan ini ditulis oleh GY, guru SD di Provinsi DKI Jakarta.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini