Friday, 26 June 2020

Mendidik Siswa Berkebutuhan Khusus

Foto ilustrasi: Tony Liong

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema tantangan terbesar dalam mengajar sebagai guru muda.

 

Tantangan terbesar saya sebagai guru saat ini adalah mengajar siswa berkebutuhan khusus. Di kelas saya ada satu siswa berkebutuhan khusus yang saya sebut anak istimewa. Setiap hari ia hanya mencoreti buku tulisnya. Kadang ia keluar kelas lalu berlari mengelilingi sekolah dan melewati setiap kelas. Saat para guru menegurnya, ia mengamuk dan berlarian lagi.

Awalnya saya tidak mengerti bahwa ia memiliki kondisi yang berbeda dari anak-anak yang lain. Ia tidak bisa fokus belajar dan terkadang mengamuk tanpa sebab. Saat saya tanyakan ke siswa yang lain, ternyata anak istimewa itu sudah memperlihatkan perilaku seperti itu sejak awal masuk sekolah.

Memahami Kondisi Siswa

Untuk lebih bisa memahami siswa istimewa itu, saya lalu mengundang orang tuanya ke sekolah untuk berdiskusi. Orang tuanya bercerita bahwa anak mereka sudah pernah menjalani pemeriksaan oleh psikolog. Hasilnya, anak mereka didiagnosis memiliki kondisi sindrom autisme dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Ada banyak makanan yang tidak boleh dikonsumsi dan obat yang harus diminum oleh siswa tersebut.

Pada awalnya, siswa itu rutin menjalani perawatan. Namun, setelah kedua orang tuanya bercerai, ia tidak lagi menjalani perawatan dan tidak minum obat secara rutin. Sejak itu, kondisi anak itu menjadi kurang terkendali, seperti sering mengamuk.

Saat ini, siswa itu tinggal bersama neneknya. Baik nenek maupun ibunya menolak anak itu disebut anak berkebutuhan khusus (ABK). Karena orang tua siswa tidak bersedia memberi surat keterangan ABK, maka sekolah harus memperlakukan siswa itu sama seperti siswa yang lain, dan dengan penilaian yang sama pula.

Hal ini sebenarnya menimbulkan dilema tersendiri di kalangan guru. Kami ingin memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai bagi siswa itu, namun justru tidak mendapat dukungan dari keluarganya. Selama satu semester kemarin, siswa tersebut tidak dapat mengikuti pelajaran normal.

Pendekatan Mengajar yang Berbeda

Saya sudah mencoba berbagai metode untuk mengajar si siswa istimewa. Mulai dari menggunakan pendekatan ilmiah, yaitu mendorong siswa mengamati, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengkomunikasikannya. Awalnya, upaya ini berjalan dengan baik. Namun, siswa itu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan bekerja sama dengan siswa yang lain dalam kelompok.

Saya lalu mencoba metode contextual teaching and learning, yaitu pembelajaran berdasarkan konteks. Saya mencoba menggali apa yang telah siswa rasakan di kehidupan sehari-hari. Upaya ini pun tidak berhasil.

Semua upaya yang saya lakukan gagal karena kondisi anak tersebut memang berbeda. Ia perlu mendapatkan pembelajaran dan penilaian yang disesuaikan dengan kondisinya. Namun, para guru tidak bisa menyediakan itu karena terbentur peraturan yang menyatakan keluarga harus memberikan surat pernyataan bahwa siswa memang memiliki kondisi khusus.

Perlu Pendekatan Khusus

Saya pernah melihat siswa istimewa itu menggambar, dan menurut saya gambarnya sangat bagus. Ia pun terlihat fokus saat menggambar. Menurut saya bila ada pendekatan khusus, pendidik bisa membantu siswa itu mengembangkan bakat menggambarnya.

Sampai sekarang saya masih mencoba meyakinkan keluarga siswa istimewa itu bahwa anak mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus. Sebagai guru, ini adalah tantangan terberat yang saya hadapi hingga hari ini.

 

 

* Catatan ini ditulis oleh WI, guru SD di Provinsi DKI Jakarta.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini