Tuesday, 23 June 2020

Mengajar dengan Metode Berkelompok

Foto ilustrasi: Tony Liong

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema tantangan terbesar dalam mengajar sebagai guru muda.

 

Sebagai seorang guru, saya harus bisa mengajar dan mendidik siswa. Mengajar berhubungan dengan memberikan pengetahuan kepada siswa atau transfer of knowledge. Mendidik berhubungan dengan memberikan nilai-nilai dan norma (pendidikan karakter) kepada siswa atau biasa disebut transfer of value.

Menjadi guru kelas yang bertanggung jawab mendidik 32 siswa bukan hal yang mudah. Ada 32 siswa dengan karakter yang berbeda-beda. Ada yang suka bicara, suka bertanya, ada yang pendiam, ada yang kritis, dan sebagainya. Ada anak yang bisa cepat memahami materi, tetapi lebih lambat dalam memahami kesenian. Ada anak yang pandai kesenian, tetapi perlu waktu lebih lama dalam pembelajaran matematika. Selain itu masih banyak lagi karakter anak-anak yang lain.

Bagi saya, tantangan terbesar dalam mengajar adalah meningkatkan kemampuan 32 siswa dengan 32 karakter dan kemampuan yang berbeda-beda. Perbedaan ini yang membuat adanya kesenjangan antara anak yang cepat memahami materi dan anak yang perlu waktu lebih lama dalam memahami materi pembelajaran. Saat saya memberikan tugas mandiri matematika, misalnya, ada anak yang menyelesaikannya dengan cepat dan benar; ada anak yang belum selesai, tetapi bisa menjawab dengan benar; dan ada anak yang belum bisa menjawab dengan benar.

Menggunakan Berbagai Metode Pembelajaran

Di kelas, saya menggunakan banyak metode pembelajaran seperti diskusi, tanya jawab, ceramah bervariasi, permainan, kuis, pembelajaran luar kelas, dan lain-lain. Dari semua metode, saya paling sering menggunakan metode tanya jawab, diskusi, dan ceramah bervariasi.

Saya menata ruangan kelas untuk pembelajaran berkelompok agar para siswa dapat berdiskusi secara berkelompok. Awalnya saya memberi kebebasan kepada anak-anak untuk memilih kelompok masing-masing. Namun, langkah tersebut ternyata tidak efektif karena kesenjangan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain sangat terlihat. Oleh karena itu, setelah penilaian tengah semester (PTS) semester 1, saya mengatur ulang pembagian kelompok siswa.

Saya sekarang membagi kelompok secara heterogen atau campuran antara siswa yang mudah dan cepat memahami materi pelajaran dan siswa yang lebih lambat dalam memahami materi pelajaran. Saya juga meminta kepada anak-anak agar mereka membantu teman dalam kelompoknya saat belajar. Hal ini saya lakukan agar siswa yang cepat memahami materi pelajaran dapat mengajari teman satu kelompoknya yang belum bisa memahami materi yang diajarkan.

Dampaknya Positif dan Negatif

Pengaturan ruangan dengan meja berkelompok yang saya lakukan berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah ada beberapa kelompok yang bisa berdiskusi secara efektif; siswa yang lebih mampu mengajari temannya dalam satu kelompok. Kemampuan siswa pun meningkat.

Dampak positif lainnya adalah sistem belajar berkelompok ini mengurangi suasana gaduh di kelas. Ini terjadi karena saya sengaja menggabungkan anak yang banyak bicara dengan anak yang cenderung pendiam.

Di sisi lain, sistem yang saya terapkan itu juga menimbulkan dampak negatif karena ada beberapa siswa yang tidak mau mengajari temannya. Selain itu, siswa juga jadi mudah mencontek saat ulangan maupun mengerjakan tugas mandiri. Ini terutama pada siswa yang belum terlalu memahami materi pelajaran. Hasil ulangannya bagus, tetapi saat saya konfirmasi ia tidak bisa menjelaskan jawaban yang ia tuliskan. Saya pun tak bosan-bosan mengingatkan para siswa supaya jujur dalam mengerjakan tugas maupun ulangan.

 

* Catatan ini ditulis oleh IK, guru SD di Provinsi DI Yogyakarta.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini