Monday, 30 March 2020

Menjaga Interaksi

Foto ilustrasi: Novita Eka Syaputri

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri "Catatan Perjalanan Guru” dengan tema pengalaman berkesan selama menjadi guru.

 

Menjadi seorang guru tentunya tidak lepas dari interaksi dengan orang lain, baik itu interaksi antarguru, dengan siswa, dengan teman sejawat, dengan kepala sekolah, maupun dengan wali murid. Oleh karena itu, seorang guru harus mempunyai kompetensi sosial yang baik.

Guru di sekolah sering disebut sebagai “orang tua kedua” siswa. Sebagai “orang tua kedua”, saya harus mengurusi siswa layaknya orang tua mereka di rumah. Mengurus siswa dalam jumlah banyak tidaklah mudah. Ada siswa yang suka menangis, bahkan ada siswa yang belum bisa buang air kecil atau buang air besar sendiri di kamar mandi (terutama siswa kelas bawah). Dibutuhkan kesabaran yang luar biasa untuk bisa mengerjakan tugas-tugas itu.

Saat mengajar, saya juga tidak terus-terusan bersikap serius dalam menghadapi siswa. Kadang saya melucu untuk membuat anak-anak tertawa dan fresh lagi untuk mengikuti pembelajaran. Saya juga harus memilah kapan perlu berempati kepada siswa, kapan saatnya bersikap kritis, kapan harus menerima, dan kapan harus menolak. Saat siswa melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma atau aturan yang berlaku, saya selalu menasehati dengan kata-kata lembut dan tidak menyakitkan perasaan.

 

Harmonis dengan Teman Sejawat

Selain berinteraksi dengan para siswa, saya juga berusaha menjaga hubungan yang harmonis dengan teman sejawat. Menurut saya, bila hubungan sosial di sekolah harmonis, maka guru juga akan merasa nyaman dan bersemangat dalam bekerja.

Pada kenyataannya, hubungan dengan teman sejawat memang tidak selalu berjalan mulus. Saya pernah melihat teman yang selalu cemberut tiap berangkat ke sekolah. Kalau sudah begitu saya tidak akan mengganggu atau mengajaknya bercanda. Saya akan tunggu sampai suasana hatinya membaik, baru saya ajak bercanda lagi.

Saya termasuk orang yang senang bercanda. Menurut saya, hal-hal kecil seperti bercanda bisa membuat kami, para guru, saling menghormati dan menghargai. Selain itu, bila kinerja saya tidak baik atau tidak sesuai dengan yang seharusnya, saya pun selalu membuka diri terhadap kritik, termasuk dari kepala sekolah, agar bisa lebih baik lagi.

Di tempat saya mengajar, tiap seminggu sekali para guru dan kepala sekolah menggelar rapat kecil atau sesi sharing. Pada kesempatan itu, setiap wali kelas menyampaikan apa yang terjadi dalam pembelajaran mereka selama seminggu terakhir dan masalah yang dihadapi dalam mengajar. Bila si guru tidak bisa menemukan solusi untuk mengatasi masalahnya, rekan-rekan guru akan membantu mencarikan solusi.

Saya bersyukur bekerja di lingkungan yang orang-orangnya saling mengerti satu sama lain. Meskipun gaji saya tidak seberapa, tetapi, rezeki teman yang baik saya dapatkan di sekolah ini. Saya dan guru-guru lain saling berusaha menjaga kehormatan kami dan tidak mencari kekurangan atau kesalahan satu sama lain.

 

Menghadapi Wali Murid

Pengalaman lain yang cukup berkesan adalah berinteraksi dengan wali murid, terutama para ibu. Terkadang saya merasa mereka lebih banyak bicara dan sukar dibantah daripada anak-anaknya.

Kalau menghadapi anak-anak, diberitahu satu atau dua kali akan langsung menurut karena mereka punya rasa takut terhadap guru. Tetapi, para ibu umurnya lebih tua dan lebih berpengalaman dalam mengurus anak dibandingkan saya. Berbicara dengan mereka tidak semudah berbicara dengan anak-anak.

Yang membuat saya repot adalah dering grup WhatsApp dari grup wali murid yang tidak kenal waktu, entah subuh, pagi, siang, sore, dan malam. Ponsel saya selalu berbunyi karena pesan singkat dari kebanyakan para ibu yang menanyakan tugas dan pekerjaan rumah (PR) anak-anak mereka. Di sisi lain, saya juga senang karena wali murid ternyata turut memperhatikan pembelajaran anak-anak mereka dan tidak sepenuhnya melepas pendidikan anak kepada guru sekolah.

 

* Catatan ini ditulis oleh GWA, guru SD di Provinsi Jawa Tengah.

** Semua tulisan yang dipublikasikan dalam Catatan Perjalanan Guru merupakan pandangan penulis, telah melalui proses penyuntingan untuk keperluan penulisan populer, dan tidak mewakili pandangan Program RISE di Indonesia ataupun penyandang dana RISE.


Bagikan Postingan Ini